BOLEHKAH AKU BERPIKIRAN SEPERTI KAUM SOSIALIS?

Oleh Fitrah Izul Falaq

 

Alkisah seorang pemuda bernama Soeparno, sedang berjalan-jalan di sebuah desa kecil di selatan pulau Jawa. Ia berjalan menikmati pemandangan desa yang sangat indah. Pohon kelapa tumbuh subur, pohon mangga berbaris sepanjang jalan, hamparan padi nan hijau menyejukkan mata hatinya. Dalam hati ia bergumam, “Inilah Indonesia, negara yang sengaja di pilih Tuhan untuk menjadi surga dunia”.

Pantas saja, mulai dari awal tahun 1500, bangsa barat sudah tertarik dengan Nusantara. Dari mulai membawa semangat 3G (Gold, Glory, dan Gospel) hingga masa dimana Belanda berkuasa penuh atas Indonesia, yang kala itu bernama Hindia Belanda.

Ditengah perjalanannya, ia melihat seorang petani berkerja dengan penuh cinta. Tanpa lelah ia membajak sawah dengan cangkulnya, camping yang terlihat kusam itu dipakainya, modal awal agar tak terkena panasnya sinar matahari. Dengan logat berbahasanya yang tegas, Soeparno bertanya, “Petani, apakah kau tidak kecapean, berkerja sepanjang hari, dibawah terik matahari, tanpa beristirahat? Tidakkah kau lelah?”

“Pertanyaan anda ini sangat lucu bung, mana bisa saya lelah dan berhenti bekerja. Seminggu lalu, istri saya diculik untuk dijadikan wanita penghibur menir Belanda. Kedua anak perempuan saya mengalami nasib yang sama. Lantas ketika bila aku menjadi pemalas, siapa yang akan menebus mereka berdua?” jawab petani dengan menahan sedikit air mata.

Soeparno tertegun mendengar kisah petani paruh baya itu. Nasib seperti itu bukan satu-satunya. Kala itu, semua petani diwajibkan untuk bercocok tanam, tanpa diupah, tapi dengan dipaksa. Orang-orang terdekat mereka diculik, diperlakukan tak manusiawi, dan disandra sebagai jaminan. Pejuang seperti petani ini sangat jarang ditemui, propaganda Belanda telah memaksa rakyat untuk menyerah tanpa mencoba. Jangankan berjuang, bertahan hidup saja tidak. Luka ditinggal orang yang begitu disayangi adalah cobaan terberat manusia.

Tak sedikit rakyat lebih memilih mendekat dengan Belanda. Mencari titik aman agar tidak mendapat siksaan. Beribu cara dilakukan meski terkadang mengorbankan banyak hal. Pemerintah tak lagi milik kaum lemah, hak-hak rakyat tertindas bukan lagi prioritas. Sungguh lucu memang, terjajah di negeri sendiri, diperintah oleh pendatang yang bisa berbuat seenaknya sendiri. Tak ada pejuang, petani, buruh, diperlakukan layaknya hewan.

Sejenak Soeparno terdiam, tiba-tiba dengan suara lantang dia berteriak, “Aku akan mendirikan sebuah organisasi, untuk memperjuangkan nasib para petani. Begitu pula nasib para buruh, dan seluruh pekerja yang tak mendapatkan perlakuan tak pantas. Tak ada lagi status pembeda, semua harus mendapat hak yang sama.” Sejak itulah, muncul sebuah organisasi berhaluan kiri yang menamai mereka dengan para Sosialis.

Para sosialis berpikiran: rasa perhatian, simpati dan empati antar individu kepada individu lainnya tanpa memandang status. Semua mendapat hak yang sama, perlakuan yang sama, dan sangat menentang induvidualisme. Soeparno beranggapan bahwa dalam membangun sebuah negara, mengapa harus kita membedakan kaya dan miskin. Tak ada keduanya, semua dikuasai oleh negara.

***

Aku adalah Soeparno?

Bagiku, dalam suatu kondisi tertentu, mahasiswa harus berpikiran seperti Soeparno. Mementingkan penderitaan rakyat dibandingkan dengan kepentingan lain (terutama kepentingan pribadi). Bahkan, dalam kondisi tertentu, mahasiswa harus dilatih untuk merasakan derita yang sama antara satu dengan yang lain.

Sayangnya, pemikiran sosialisme saat ini sudah tidak begitu populer. Banyak mahasiswa berlomba-lomba untuk menunjukkan kekuatannya masing-masing. Menunjukkan bahwa dirinya adalah yang terhebat. Kepentingan rakyat adalah kebahagiaan, dimana kebahagiaan hanya bisa diraih dengan mengikuti hedonisme jaman, bersenang-senang pada konser musik, mereka bisa berpesta, tapi tidak bisa bahagia.

Jangankan memikirkan nasib rakyat yang tertindas, memikirkan penderitaan temannya saja merasa ogah. Induvidualisme menjadi harta karun mahasiswa, seolah kehidupan sosial hanya sebatas mata kuliah PKn atau Pancasila saja. Terbatas hanya dua sks, dua jam semester.

Bukankah itu yang namanya mahasiswa jaman now? Entahlah.

Apakah aku boleh berpikiran seperti sosialis? Seperti Soeparno? Meski tak nyata?

Malang, 10 Januari 2018
Belajar bercerita, meski terbata-bata.

0 Komentar