Dulcinea Del Contento

Ku dengar suara ayam berkokok, perlahan sinar mentari menyapaku dengan penuh kehangatan. Aku pun terjaga. Dengan pandangan yang masih buram, kulihat sekumpulan mimpi yang tertempel jelas di dinding kamarku. Semua orang bilang bahwa mimpi itu gratis, jadi tak ada salahnya aku bermimpi kan?


Seluruh mimpi yang kutulis dan kulihat setiap hari memberi semangat untuk menjalani hidup. “Menuliskan mimpi sangat efektif tuk mendorong seseorang meraih cita-citanya”. Terbukti, sebagian angan akan mimpi itu tlah kuraih: 12 piala ku kumpulkan dari setiap cabang lomba; menjadi siswa berprestasi; mendidikan organisasi ilmiah & film; serta sepeda motor yang kubeli dengan uang sendiri.


Namun, ketika aku benar-benar berada “diatas mimpi yang tlah menjadi nyata”, saat itulah aku merasa sepi. Kesedihan akan kehampaan membawa sepotong hatiku pergi. Seperti budha yang melakukan pertapaan, aku merenung tuk mendapat jawaban. “Untuk apa aku ada?”. Hingga akhirnya ku terlelap, hanyut dalam mimpi itu sendiri.


Ku coba bangun dengan membuka lensa parasku secara perlahan, tapi mengapa semua tampak gelap?. Aku ketakutan, badanku menggigil, dan pikiranku carut marut. Setiap kali kupaksa tetap saja hitam kelam. Rasanya aku ingin menangis, tapi tak dapat kurasakan air dalam kelopak mata yang ku banggakan selama ini.


Kaki dan tangan yang kupakai tuk mengejar dan meraih mimpi itu pun demikian, lemas tak berdaya. Lisan yang mampu membuat orang terkesan dan percaya, kali ini tak lebih dari sepah. Aku lumpuh dan hilang dalam hiruk pikuk manusia. Sedih tanpa menangis, kalah tanpa melangkah, dan diam tanpa membela. Hingga lebur tak tersisa, meski hanya sebuah nama.


Ditengah kegelapan itu, ada sedikit suara. Perlahan dalam senyap, membisikkan dalam hatiku, “fa bi’ ayyi aalaaa’i robbikumaa tukazziban”. Suara itu semakin keras, lebih keras, dan lebih keras lagi. Aku semakin gundah, bagai sebutir debu di padang pasir. Aku begitu hina dan tak pantas lagi untuk menengadah.


Diakhir bisikan itu aku mendengar, “Maka, nikmat Tuhan manakah yang kamu dustakan?”.


Sepenggal kalimat itu lah yang telah mengisi sepotong hatiku. Memberiku sebuah cinta untuk zat yang Maha Agung. Ia mengajarkanku bahwa cinta tak dapat dilihat oleh mata, dipegang dengan tangan, dihampiri dengan kaki, dan disapa dengan lisan. Namun, cinta hanya dapat diraih dengan lubuk hati yang suci, tanpa ada ketamakan, kebencian, dan keegoisan.


Tak lama berselang, adzan subuh berkumandang, suara yang tak pernah kudengar sebelumya. Membimbingku tuk menggerakkan badan, membuka mata secara perlahan, dan memandu ku tuk mengucap, “Alhamdulillah”.


Sejak kejadain itu, ku lepas semua tulisan akan ratusan mimpi yang tertempel rapi di dinding kamarku. Kemudian ku ganti dengan selembar kertas A3 bertuliskan, “Mimpiku adalah Meraih Surga Allah SWT!”.


Ya, bukankah sejak lahir, fitrah manusia hanyalah untuk beribadah padaNya? Menjalankan mandat untuk menebar islam sebagai agama rahmatan lil alamin. Habluminallah, Habluminannas, dan hablumbinafsi.


Aku bertekad membangun negeri, dengan kecintaanku pada Allah dan Rasul, membentuk generasi muda yang tak hanya fokus meraih mimpinya sendiri. Namun generasi yang mempunyai cinta pada Allah, Rasul, sesama manusia, dan juga tuk dirinya sendiri.


Adakah negeri yang lebih hebat dari sebuah negeri yang mempunyai generasi muda yang penuh dengan kasih sayang? So mari berjuang, Islam rahmatan lil alamin.


***


“Membangun negeri bukan hanya sekedar membantu dalam sebuah periode. Negeri yang makmur dibangun dengan rahmat dan kasih sayang sepanjang hayat”


Fitrah Izul Falaq
Villa Holanda, Panderman, Batu
26 November 2016

0 Komentar